Jumat, 13 Maret 2020

Mengapa Kunang-kunang Bisa Bercahaya?

PROSES BIOLUMINESENSI PADA KUNANG-KUNANG
Oleh : Erwinsyah Utama, Elviana Hanum, Mitra Aritonang, Nurwulan Dari, Sonnya Amalya, Thomson Alex Sumanro Girsang 
Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 
Universitas Negeri Medan
Editor : Erwinsyah Utama

Abstrak
Bioluminesensi adalah sebuah proses yang menarik pada makhluk hidup yang merubah energi kimia menjadi energi cahaya. Reaksi kimia pada bioluminesensi melibatkan tiga komponen utama, yakni luciferin (substrat), lucifcerase (enzim) dan molekul oksigen. Luciferin merupakan substrat yang melawan suhu panas dan menghasilkan cahaya dan luciferase merupakan sebuah enzim yang mengkatalisis reaksi yang terjadi dan oksigen sebagai bahan bakar. Organ bioluminisensi pada kunang-kunang berada pada bagian atas ekor dan sisi yang yang mengenai sirip perut/abdomen. Kunang-kunang memiliki sel pemantul cahaya (fotosit) pada ruas abdomen ke 4 dan 5 yang mengandung banyak luciferin. Mekanisme reaksi bioluminisensi terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pertama pembentukan senyawa luciferil adenalite dengan cara penggabungan antara senyawa luciferin dan ATP. Tahap kedua merupakan tahap penentu reaksi, pada tahap ini terjadi reaksi antara luciferi adenilate dengan oksigen menghasilkan senyawa aktif penghasil cahaya yaitu senyawa oxyluciferin.
Kata kunci: Kunang-kunang, Bioluminisensi, Luciferin

Pendahuluan
Kunang-kunang merupakan serangga yang unik, karena kemampuannya untuk menghasilkan cahaya yang berwarna-warni tergantung habitatnya. Di Indonesia ditemukan dua jenis kunang-kunang. Salah satu dari spesies tersebut termasuk Genus Pteroptyx sedangkan yang lainnya belum teridentifikasi (Resti, 2007).
 Fenomena pancaran cahaya pada kunang-kunang merupakan hasil dari reaksi kimia yang disebut kemiluminesensi. Ketika hal tersebut terjadi pada makhluk hidup maka itu yang dinamakan bioluminisensi (YaJun & Fang, 2007). Bioluminisensi adalah sebuah proses yang menarik pada makhluk hidup dimana energi kimia diubah menjadi energi cahaya (Barua dkk, 2009).
Warna cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang berbeda-beda tergantung dari besarnya energi dan panjang gelombang yang dihasilkan (Anonim, 2009). Menurut Sari (2014), terdapat perbedaan karakteristik fisis pemancaran cahaya pada setiap jenis kunang-kunang. Perbedan tersebut terletak pada panjang gelombang emisi, quantum yield, jumlah foton dan energi aktivasi yang dihasilkan walaupun struktur enzim dan substratnya sama. Perbedaan ini disebabkan karena karakteristik dari tempat dan kunang-kunang tersebut ditemukan. Pada habitat kunang-kunang tersebut memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda, seperti temperatur, pH, tanah, makanan dan lain-lain.
Berdasarkan uraian tersebut, penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui proses bioluminisensi pada kunang-kunang serta mekanisme reaksi yang terjadi.

Bioluminisensi
Bioluminisensi adalah sebuah proses yang menarik pada makhluk hidup yang merubah energi kimia menjadi energi cahaya (Barua dkk, 2009). Bioluminisensi juga mengacu pada produksi dan emisi cahaya tampak oleh reaksi enzim-katalis dalam organisme hidup. Hal ini banyak ditemukan di berbagai organisme hidup, seperti bakteri, serangga, dan organisme laut (David, 2006).
Reaksi kimia pada bioluminisensi melibatkan tiga komponen utama, yakni luciferin (substrat), lucifcerase (enzim) dan molekul oksigen. Luciferin merupakan substrat yang melawan suhu panas dan menghasilkan cahaya dan luciferase merupakan sebuah enzim yang mengkatalisi reaksi yang terjadi dan oksigen sebagai bahan bakar (Gajendra-Kannan, 2002). Pada reaksi tersebut luciferase mengalami eksitasi dan kembali ke keadaan dasar sambil memancarkan cahaya. Keadaan ini merupakan proses fisika yang terjadi dalam organisme yang melibatkan transpor elektron dimana elektron pindah dari keadaan dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi dan kemudian kembali kekeadaan dasar yang disertai pancaran cahaya. Pancaran cahaya yang dihasilkan oleh organisme bioluminisensi ini merupakan energi dingin, karena hampir 90% energi yang dihasilkan dari reaksi luminisensi diubah menjadi energi cahaya (Ratnawulan, 2008).

Organ Bioluminisensi Pada Kunang-Kunang
Organ bioluminisensi pada kunang-kunang berada pada bagian atas ekor dan sisi yang yang mengenai sirip perut/abdomen. Kunang-kunang memiliki sel pemantul cahaya (fotosit) pada ruas abdomen ke 4 dan 5 yang mengandung banyak luciferin. senyawa luciferin bereaksi dengan adenosin triphosfat (ATP). Senyawa luciferin menjadi aktif dengan bantuan enzim luciferase. Sebelum sampai ke mata kita, cahaya dari tubuh kunang-kunang mengalami refleksi dan refraksi. Berikut ini adalah gambar dari bagian tubuh kunang-kunang yang masing masing memiliki kontribusi dalam mengurangi refleksi internal total yang dapat menyebabkan hilangnya foton sehingga dapat meningkatkan ekstraksi cahaya (Bay dkk, 2009).
Substruktur Lentera Kunang-Kunang

Lentera kunang-kunang terletak pada permukaan ventral abdomen di bawah kutikula Lentera ditemukan dalam segmen kedua dan ketiga dari perut. Tujuh substruktur diidentifikasi: (1)Antena, (2)Struktur kisi memanjang, (3)Sisik, (4)Dua dimensi kristal fotonik dalam kutikula, (5)Celah antara kutikula dan photocytes, (6)Membran pembungkus ruang photocytes, (7)Photocytes, di mana reaksi bioluminisensi berlangsung, terstruktur oleh akumulasi sebaran bola kecil, yang diidentifikasi sebagai peroksisom (Bay dkk, 2013).
Tahap pertama pembentukan senyawa luciferil adenalite dengan cara penggabungan antara senyawa luciferin dan ATP. Tahap kedua merupakan tahap penentu reaksi, pada tahap ini terjadi reaksi antara luciferi adenilate dengan oksigen menghasilkan senyawa aktif penghasil cahaya yaitu senyawa oxyluciferin. Namun sebelum terbentuk senyawa oxyluciferin, terbentuk terlebih dulu senyawa intermediet yaitu luciferin dioxetanon,untuk menjadi senyawa oxyluciferin, senyawa luciferin dioxetanon ini melepaskan CO2 sehingga terjadi eksitasi elektron dan melepaskan energi.
Energi yang dilepaskan oleh senyawa luciferin dioxetanon selanjutnya di absorbsi oleh senyawa oxyluciferin yang kemudian akan dijadikan sebagai gemerlap cahaya kedap-kedip yang dikeluarkan oleh kunang-kunang. Warna cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang berbeda-beda tergantung dari besarnya energi dan panjang gelombang yang dihasilkan, adapun besarnya energi dan panjang gelombang yang dihasilkan pada proses pembentukan cahaya dipengaruhi oleh bentuk senyawa oxyluciferin. Jika senyawa oxyluciferin berbentuk keto, maka cahaya yang dihasilkan berwarna merah. Sementara itu jika senyawa oxyluciferin berbentuk enolat, cahaya yang dihasilkan berwarna hijau-kuning (Anonim, 2009).
Menurut Sari (2014), terdapat perbedaan karakteristik fisis pemancaran cahaya pada setiap jenis kunang-kunang. Perbedan tersebut terletak pada panjang gelombang emisi, quantum yield, jumlah foton dan energi aktivasi yang dihasilkan walaupun struktur enzim dan substratnya sama. Perbedaan ini disebabkan karena karakteristik dari tempat dan kunang-kunang tersebut ditemukan. Pada habitat kunang-kunang tersebut memiliki karakteristik lingkungan yang berbeda, seperti temperatur, pH, tanah, makanan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak mengherankan banyak kunang-kunang dilaporkan para ilmuwan memiliki karakteristik fisis yang berbeda dari panjang gelombang cahaya yang dihasilkan memiliki panjang gelombang antara 510 sampai 670 nanometer dengan warna pucat kekuningan sampai hijau kemerahan.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.  Bioluminisensi adalah sebuah proses yang menarik pada makhluk hidup yang merubah energi kimia menjadi energi cahaya.
2.  Reaksi kimia pada bioluminisensi melibatkan tiga komponen utama, yakni luciferin (substrat), lucifcerase (enzim) dan molekul oksigen.
3. Organ bioluminisensi pada kunang-kunang berada pada bagian atas ekor dan sisi yang yang mengenai sirip perut/abdomen.
4.    Mekanisme reaksi bioluminisensi terdiri dari lima tahap.
5.  Terdapat perbedaan karakteristik fisis pemancaran cahaya pada setiap jenis kunang-kunang yang dipengaruhi oleh faktor habitatnya.

Referensi
Anonim. 2009. ATP and Firefly Bioluminescence. USA: Carolina.

Barua, A Gohain, Hazarika S, Saikia NM dan Baruah G D. 2009. Bioluminescence Emission of a Firefly Luciola praeusta Kiesewetter 1874 (Coleoptera: Lampyridae: Luciolinae). India: Departemen of physic, Gauhati University, Dibrugarh University.

Bay, Annick dan Jean Pol Vigneron. 2009. Light extraction from the bioluminisensi organs of firefliesProc. of SPIE, 7401, 1-12.

David, F.G. 2006. Aglow in the Dark:The Revolutionary Science of Biofluorescene. Belknap Press. ISBN 978-0-674-01921-8.

Gajendra, Babu, dan Kannan, M. 2002. Lightning Bugs. India: Tamil Nadu Agricultural University Coimbatore.

Ratnawulan. 2008. Fisika Bioluminisensi Studi Kasus pada Baktei Photobacterium Phosporeum. Padang: Universits Negeri Padang Pres.

Resti, Rahayu. 2007. Mengenal kunang-kunang Melalui Habitat dan ciri-ciri Morfologi. Padang: Artikel Ilmiah Universitas Andalas.

Sari, M., Ratnawulan, dan Gusnedi. 2014. Karakteristik Fisis Pemancaran Cahaya Kunang-kunang Terbang (Pteroptyx tener). Pillar of Physics. 1(1).halaman:113-120.

YaJun, LIU & WeiHai, FANG. 2007. Ab initio investigation on the structures and spectra of the firefly luciferin. China: College of Chemistry, Beijing Normal University.



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

1. Dilarang Spam
2. Dilarang menggunakan kata-kata kasar/tidak sopan

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda