Kamis, 26 Maret 2020

Arang Briket

ENERGI ALTERNATIF BIOBRIKET DARI CANGKANG KARET (Hevea brasilliensis) DAN BONGGOL UBI KAYU (Manihot utilissima)

Oleh : Erwinsyah Utama, Dona Best Marika, Linda Rosita

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

Editor : Erwinsyah Utama


PENDAHULUAN
                Indonesia merupakan salah satu Negara penghasil karet terbesar di dunia. Pada tahun 2016, untuk daerah Sumatera Utara, luas perkebunan karet sebesar 433.121 ha dan total produksi sebesar 418.919 ton. Semakin meningkatnya luas perkebunan karet di Indonesia semakin besar juga produksi karet, sehingga limbah yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Salah satu limbahnya adalah cangkang biji karet yang merupakan pembungkus buah karet luar setelah kulit karet dengan ciri berwarna coklat dengan tekstur yang keras. Limbah cangkang karet selama ini digunakan sebagai bahan dasar pembuatan karbon aktif. Cangkang biji karet dapat dimanfaatkan dan berpotensi menambah nilai ekonomis dengan cara diolah menjadi briket sebagai bahan bakar alternatif. Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan limbah cangkang biji karet menjadi briket dengan proses karbonisasi. Cangkang biji karet dikarbonisasi selama 2-3 jam menghasilkan arang cangkang biji karet. Arang cangkang biji karet kemudian dicampurkan dengan campuran perekat getah pinus dan tepung kanji dengan perbandingan antara getah pinus dan tepung kanji sebesar 1:1; 1:2; dan 2:1.
Biji karet terdiri dari cangkang dan inti, dan cangkang biji karet hampir sama dengan tempurung kelapa namun cangkang biji karet jauh lebih tipis. Komposisi kimia penyususn yang terkandung dalam cangkang biji karet adalah sebagai berikut: 48,64% selulosa, 33,54% lignin, 16,81% pentosa, 1,25% kadar abu, 0,52% kadar silika. Briket yang terbuat dari kulit biji karet memiliki nilai kalor > 6000 (kal/g), dengan nilai kadar air dan kadar abu yang rendah. Pembuatan briket dengan bahan  cangkang biji karet juga bisa meningkatkan nilai tambah petani karet, sehingga diharapkan terjadi aliansi dan sinergi di pedesaaan.  
Produksi ubi kayu di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam lima tahun terakhir ini dari sebesar 19.321.183 ton pada tahun 2005 menjadi 21.786.691 pada tahun 2009, atau mengalami peningkatan sebesar 11,32% (Departemen Pertanian, 2009). Peningkatan produksi tersebut menyebabkan limbah pengolahan ubi kayu dan agroindustrinya juga meningkat sehingga cukup potensial digunakan sebagai pakan; tidak hanya untuk unggas dan ruminansia kecil tetapi juga ruminansia besar. Namun pada penelitian ini akan digunakan limbah bonggol ubi kayu menjadi campuran untuk pembuatan biobriket.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Karet (Hevea brasilliensis)
            Karet atau memiliki nama latin Hevea brasilliensis merupakan tanaman asli dari lembah Sungai Amazon, Brazil, Amerika Selatan. Tanaman dapat tumbuh baik di daerah daratan rendah yakni hingga ketinggian 200 m dari permukaan laut dengan kebutuhan sinar matahari minimum 5–7 jam perhari. Karet mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian 15–25 m. Secara fisik cangkang buah karet memiliki ciri ini sebagai tumbuhan yang berlignin. Konstruksi cangkang yang keras mengindikasi bahwa cangkang buah karet ini mengandung senyawa aktif berupa lignin (Vinsiah dkk, 2013). Cangkang buah karet belum termanfaatkan secara optimal bahkan kadangkala menjadi suatu limbah yang tidak memiliki nilai jual. Padahal bahan tersebut memiliki potensi untuk diolah menjadi produk yang lebih bermanfaat dan bernilai jual. Cangkang biji karet juga dapat dimanfaatkan dan berpotensi menambah nilai ekonomis dengan cara diolah menjadi briket sebagai bahan bakar alternatif.

Tabel  Komposisi Kimia yang Terkandung dalam Cangkang Karet
2. Bonggol Ubi Kayu (Manihot utilissima)
            Ubi kayu (Manihot utilissima) merupakan tanaman tropis yang mudah tumbuh di segala kondisi tanah dan pada waktu musim panen harganya relatif murah (Antari dan Umiyasih, 2009). Produksi ubi kayu di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam lima tahun terakhir ini dari sebesar 19.321.183 ton pada tahun 2005 menjadi 21.786.691 pada tahun 2009, atau mengalami peningkatan sebesar 11,32% (Departemen Pertanian, 2009). Bahan  limbah pascapanen tanaman ubi kayu antara lain pucuk ubi kayu, batang ubi kayu, kulit ubi kayu, bonggol ubi kayu, gaplek afkir, singkong afkir, dan gamblong  (Mariyono et al., 2008). Limbah bonggol ubi kayu yang tidak termanfaatkan di Sumatera Utara pada tahun 2008 adalah sebanyak 22.103 ton (Departemen Pertanian, 2009).
            Bonggol ubi kayu juga merupakan salah satu limbah yang sampai saat ini masih sedikit dimanfaatkan. Bonggol ubi kayu biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan hewan ternak ruminansia seperti yang dilaporkan oleh (Antari dan Umiyasih, 2009). Teksturnya yang keras dan kandungan nutrisi yang rendah membuat bonggol ubi kayu tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi manusia. Tekstur bonggol ubi kayu yang keras menandakan bahwa terdapat kandungan lignin yang tinggi didalamnya. Kandungan lignin yang tinggi menyebabkan bonggol ubi kayu apabila dibakar/dikarbonisasi maka akan menghasilkan kualitas arang yang cukup bagus.

3. Briket
            Biobriket adalah briket yang dibuat dari bahan biomassa atau limbah biomassa. Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun limbah. Biobriket banyak diterapkan di negara-negara Asia bagian selatan seperti Indonesia, India, dan Thailand. Biobriket merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah guna meningkatkan nilai tambah limbah hasil pertanian, seperti limbah cangkang karet sebagai bentuk biomasa. Pembuatan biobriket dilakukan melalui beberapa tahapan, diantaranya sortasi, pengarangan dan penggilingan, pencampuran dengan perekat, pencetakan/pengempaan briket dan pengeringan. Ukuran serbuk arang yang halus untuk bahan baku briket arang akan mempengaruhi keteguhan tekan dan kerapatan briket arang. Semakin halus maka kerapatannya akan semakin meningkat. Makin halus ukuran partikel, makin baik briket yang dihasilkan. Bahan baku untuk membuat briket harus cukup halus untuk dapat membentuk briket yang baik. Ukuran partikel yang terlalu besar akan sukar pada waktu melakukan perekatan sehingga mengurangi keteguhan tekan dari briket yang dihasilkan.  
            Briket merupakan bahan bakar padat dengan dimensi tertentu yang seragam, diperoleh dari hasil pengempaan bahan berbentuk curah, serbuk, berukuran relatif kecil atau tidak beraturan sehingga sulit digunakan sebagai bahan bakar dalam bentuk aslinya. Kelebihan penggunaan briket limbah biomasa sebagai substitusi kerosene dan LPG antara lain yaitu biaya bahan bakar lebih murah, lebih ramah lingkungan (green energy), merupakan sumber energi terbarukan (renewable energy), membantu mengatasi masalah limbah dan menekan biaya pengelolaan limbah (Purwita, 2012).

Karakteristik Briket
Bahan bakar padat memiliki spesifikasi dasar antara lain sebagai berikut :
1.    Nilai kalor (Heating value/calorific value)
Nilai kalor bahan bakar adalah jumlah panas yang dihasilkan atau ditimbulkan oleh suatu gram bahan bakar tersebut dengan meningkatkan temperatur 1 gr air dari 3,5°C - 4,5°C, dengan satuan kalori.
2.    Kadar air (Moisture)
Kandungan air dalam bahan bakar, air yang terkandung dalam kayu atau produk kayu dinyatakan sebagai kadar air.
3.    Kadar Abu (Ash)
Abu atau disebut dengan bahan mineral yang terkandung dalam bahan bakar padat yang merupakan bahan yang tidak dapat terbakar setelah proses pembakaran. Abu adalah bahan yang tersisa apabila bahan bakar padat (kayu) dipanaskan hingga berat konstan.
4.    Volatile matter (Zat-zat yang mudah menguap)
Volatile matter (zat-zat yang mudah menguap) merupakan salah satu karakteristik yang terkandung dari suatu biobriket. Semakin banyak kandungan volatile matter pada biobriket maka semakin mudah biobriket untuk terbakar dan menyala, sehingga laju pembakaran semakin cepat.
5.    Fixed Carbon (FC)
Kandungan fixed carbon, yaitu komponen yang bila terbakar tidak membentuk gas yaitu KT (karbon tetap) atau disebut FC (fixed carbon), atau bisa juga disebut kandungan karbon tetap yang terdapat pada bahan bakar padat yang berupa arang (char).

Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik pembakaran briket, antara lain :
1.    Laju pembakaran biobriket paling cepat adalah pada komposisi biomassa yang memiliki banyak kandungan volatile matter (zat-zat yang mudah menguap). Semakin banyak kandungan volatile matter suatu biobriket maka semakin mudah biobriket tersebut terbakar, sehingga laju pembakaran semakin cepat.
2.    Kandungan nilai kalor yang tinggi pada suatu biobriket saat terjadinya proses pembakaran biobriket akan mempengaruhi pencapaian temperatur yang tinggi pula pada biobriket, namun pencapaian suhu optimumnya cukup lama.
3.    Semakin besar berat jenis (bulk density) bahan bakar maka laju pembakaran akan semakin lama. Dengan demikian biobriket yang memiliki berat jenis yang besar memiliki laju pembakaran yang lebih lama dan nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan biobriket yang memiliki berat jenis yang lebih rendah. Makin tinggi berat jenis biobriket semakin tinggi pula nilai kalor yang diperolehnya (Widarti dkk, 2010).

Kualitas Arang Briket
            Menurut (Departemen Kehutanan, 1994) belum ada standar kualitas khusus untuk arang briket di Indonesia, namun berbagai rujukan dapat digunakan sifat arang briket buatan Jepang, Inggris dan USA sebagai berikut:

Tabel Kualitas Mutu Briket Bioarang

Arang/briket yang berkualitas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Mempunyai kandungan arang (fix karbon) diatas 75%.
2.      Cukup keras ditandai dengan tidak mudah patah dan hancur.
3.      Kadar abunya tidak lebih dari 5%
4.      Kadar zat menguapnya tidak lebih dari 8%
5.      Kadar air tidak lebih dari 15%
6.      Tidak tercemar oleh unsur-unsur yang membahayakan atau kotoran lainnya.

4. Perekat
            Perekat diperlukan dalam pembuatan briket bioarang. Hal ini karena sifat alami bubuk arang yang cenderung saling memisah. Dengan bantuan bahan perekat atau lem, butir-butir arang dapat disatukan dan dibentuk sesuai kebutuhan. Pemilihan jenis perekat sangat berpengaruh terhadap kualitas bioarang. Hal ini disebabkan perekat akan mempengaruhi kalor pada saat pembakaran (Muzi dan Mulasari, 2014).
            Terdapat beberapa jenis bahan baku yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan briket, yaitu:
a.    Perekat anorganik
Pengikat anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu. Contoh dari pengikat anorganik antara lain semen, lempung, natrium.
b.    Perekat organik
Pengikat organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran briket dan umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari pengikat organik di antaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin (Sulistyanto, 2006).

METODE PENELITIAN
1. Alat dan Bahan
            Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu tong, ember, pengaduk kayu, lumpang dari batu, alat pengepres, alat pencetak oven, neraca, pisau, panci dan kompor. Adapun bahan–bahan yang digunakan adalah cangkang karet, bonggol ubi kayu, getah pinus, kanji, air dan akuades.

2. Prosedur Penelitian
Bahan baku cangkang karet dan bonggol ubi kayu pertama sekali harus dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah dibersihkan, bahan-bahan tersebut kemudian dikeringkan di terik matahari. Hal ini bertujuan agar pembakaran dapat dilakukan dengan mudah. Bahan yang kering akan lebih mudah untuk dibakar/dikarbonasi.
Bahan baku yang telah dikeringkan kemudian dibakar hingga menghasilkan arang. Pembakaran ini kira-kira berlangsung selama kurang lebih 2-3 jam. Pada proses ini, pembakaran cangkang karet dan bonggol ubi kayu dilakukan dalam dua buah tong yang berbeda.
Arang hasil pembakaran dihaluskan menggunakan lumpang batu berukuran sedang. Material-material bahan yang telah dihaluskan kemudian dicampurkan dengan campuran perekat yang sudah dipanaskan  dan kemudian diaduk dalam ember. Pada proses ini akan divariasikan jumlah bahan baku dan variasi perekat. Perbandingan antara cangkang karet dengan bonggol ubi kayu yang akan divariasikan yaitu 1:2, 1:1, dan 2:1 dan variasi perbandingan antara tepung kanji dan getah pinus adalah 1:2 dan 1:1.
Bahan-bahan yang telah dicampurkan kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak dan kemudian dipres. Setelah itu dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven agar menghilangkan sisa-sisa air setelah pengepresan sehingga diperoleh hasil briket yang keras.

DAFTAR PUSTAKA

Antari, R., dan Umiyasih, U., (2009), Pemanfaatan Tanaman Ubi Kayu dan Limbahnya  secara Optimal sebagai Pakan Ternak Ruminansia, WARTAZOA, 19(4), 191-200.

Departemen Pertanian, (2009), Basis Data Pertanian, http://database.deptan.go.id/ bdsp/hasil_kom_asp.

Mariyono, Y.N.,  Anggraeny, dan Kiaega, L., (2008), Teknologi alternatif pemberian pakan sapi potong untuk wilayah industri bagian Timur, Pros. Seminar Nasional Sapi Potong, Palu, 24 November 2008,  BPTP Sulawesi Tengah, hlm:151 – 159.

Muzi, I., dan S. A. Mulasari., (2014), Perbedaan Konsentrasi Perekat antara Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit dengan Briket Bioarang Temperatur Kelapa terhadap Waktu Didih Air, 8(2).

Sulistyanto, A., (2006), Karakteristik Pembakaran Biobriket Campuran Batubara dan Sabut Kelapa, 7:79.

Vinsiah, R., (2013), Pembuatan Karbon Aktif dari Cangkang Kulit Buah Karet (Hevea brasilliensis), 189-199.

Widarti, E.S., (2010), Studi Eksperimental Karakteristik Briket Organik dengan Bahan Baku dari PPLH Seloliman, 1-10.


Wijaya, P., (2012), Analisis Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong sebagai Bahan Bakar Alternatif Biobriket, SKRIPSI, IPB, Bogor.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

1. Dilarang Spam
2. Dilarang menggunakan kata-kata kasar/tidak sopan

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda