Arang Briket
Oleh
: Erwinsyah Utama, Dona Best Marika, Linda Rosita
JURUSAN
KIMIA
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
Editor : Erwinsyah Utama
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan
salah satu Negara penghasil karet terbesar di dunia. Pada tahun 2016, untuk
daerah Sumatera Utara, luas perkebunan karet sebesar 433.121 ha dan total
produksi sebesar 418.919 ton. Semakin meningkatnya luas perkebunan karet di
Indonesia semakin besar juga produksi karet, sehingga limbah yang dihasilkan
juga akan semakin banyak. Salah satu limbahnya adalah cangkang biji karet yang
merupakan pembungkus buah karet luar setelah kulit karet dengan ciri berwarna
coklat dengan tekstur yang keras. Limbah cangkang karet selama ini digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan karbon aktif. Cangkang
biji karet dapat dimanfaatkan dan berpotensi menambah nilai ekonomis dengan
cara diolah menjadi briket sebagai bahan bakar alternatif. Penelitian bertujuan
untuk memanfaatkan limbah cangkang biji karet menjadi briket dengan proses
karbonisasi. Cangkang biji karet dikarbonisasi selama 2-3
jam menghasilkan arang cangkang biji karet.
Arang cangkang biji karet kemudian dicampurkan dengan campuran perekat getah
pinus dan tepung kanji dengan perbandingan antara getah pinus dan tepung kanji sebesar 1:1; 1:2; dan 2:1.
Biji karet
terdiri dari cangkang dan inti, dan cangkang biji karet hampir sama dengan
tempurung kelapa namun cangkang biji karet jauh lebih tipis. Komposisi kimia
penyususn yang terkandung dalam cangkang biji karet adalah sebagai berikut:
48,64% selulosa, 33,54% lignin, 16,81% pentosa, 1,25% kadar abu, 0,52% kadar
silika. Briket yang terbuat dari kulit biji karet memiliki nilai kalor > 6000 (kal/g), dengan nilai kadar air dan kadar
abu yang rendah.
Pembuatan briket dengan bahan cangkang
biji karet juga bisa meningkatkan nilai tambah petani karet, sehingga
diharapkan terjadi aliansi dan sinergi di pedesaaan.
Produksi ubi
kayu di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam lima tahun
terakhir ini dari sebesar 19.321.183 ton pada tahun 2005 menjadi 21.786.691
pada tahun 2009, atau mengalami peningkatan sebesar 11,32% (Departemen Pertanian, 2009). Peningkatan produksi tersebut menyebabkan
limbah pengolahan ubi kayu dan agroindustrinya juga meningkat sehingga cukup
potensial digunakan sebagai pakan; tidak hanya untuk unggas dan ruminansia
kecil tetapi juga ruminansia besar. Namun pada penelitian ini akan digunakan limbah bonggol
ubi kayu menjadi campuran untuk pembuatan biobriket.
TINJAUAN
PUSTAKA
1. Karet (Hevea
brasilliensis)
Karet atau memiliki nama latin Hevea
brasilliensis merupakan tanaman asli dari lembah Sungai Amazon, Brazil,
Amerika Selatan. Tanaman dapat tumbuh baik di daerah daratan rendah yakni
hingga ketinggian 200 m dari permukaan laut dengan kebutuhan sinar matahari
minimum 5–7 jam perhari. Karet mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian 15–25 m. Secara
fisik cangkang buah karet memiliki ciri ini sebagai tumbuhan yang berlignin.
Konstruksi cangkang yang keras mengindikasi bahwa cangkang buah karet ini
mengandung senyawa aktif berupa lignin (Vinsiah dkk, 2013). Cangkang buah karet
belum termanfaatkan secara optimal bahkan kadangkala menjadi suatu limbah yang
tidak memiliki nilai jual. Padahal bahan tersebut memiliki potensi untuk diolah
menjadi produk yang lebih bermanfaat dan bernilai jual. Cangkang biji karet juga
dapat dimanfaatkan dan berpotensi menambah nilai ekonomis dengan cara diolah
menjadi briket sebagai bahan bakar alternatif.
Tabel
Komposisi Kimia yang Terkandung dalam Cangkang Karet
2. Bonggol Ubi Kayu (Manihot utilissima)
Ubi kayu (Manihot utilissima) merupakan
tanaman tropis yang mudah tumbuh di segala kondisi tanah dan pada waktu musim
panen harganya relatif murah (Antari dan Umiyasih, 2009). Produksi ubi kayu di
Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat dalam lima tahun terakhir ini
dari sebesar 19.321.183 ton pada tahun 2005 menjadi 21.786.691 pada tahun 2009,
atau mengalami peningkatan sebesar 11,32% (Departemen Pertanian, 2009).
Bahan limbah pascapanen tanaman ubi kayu
antara lain pucuk ubi kayu, batang ubi kayu, kulit ubi kayu, bonggol ubi kayu,
gaplek afkir, singkong afkir, dan gamblong
(Mariyono et al., 2008). Limbah bonggol ubi kayu yang tidak
termanfaatkan di Sumatera Utara pada tahun 2008 adalah sebanyak 22.103 ton
(Departemen Pertanian, 2009).
Bonggol
ubi kayu juga merupakan salah satu limbah yang sampai saat ini masih sedikit
dimanfaatkan. Bonggol ubi kayu biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan
hewan ternak ruminansia seperti yang dilaporkan oleh (Antari dan Umiyasih,
2009). Teksturnya yang keras dan kandungan nutrisi yang rendah membuat bonggol
ubi kayu tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi
manusia. Tekstur bonggol ubi kayu yang keras menandakan bahwa terdapat
kandungan lignin yang tinggi didalamnya. Kandungan lignin yang tinggi
menyebabkan bonggol ubi kayu apabila dibakar/dikarbonisasi maka akan
menghasilkan kualitas arang yang cukup bagus.
3.
Briket
Biobriket
adalah briket yang dibuat dari bahan biomassa atau limbah biomassa. Biomassa
merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui yang dihasilkan
melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun limbah. Biobriket banyak
diterapkan di negara-negara Asia bagian selatan seperti Indonesia, India, dan
Thailand. Biobriket merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah guna
meningkatkan nilai tambah limbah hasil pertanian, seperti limbah cangkang karet
sebagai bentuk biomasa. Pembuatan biobriket dilakukan melalui beberapa tahapan,
diantaranya sortasi, pengarangan dan penggilingan, pencampuran dengan perekat,
pencetakan/pengempaan briket dan pengeringan. Ukuran serbuk arang yang halus
untuk bahan baku briket arang akan mempengaruhi keteguhan tekan dan kerapatan
briket arang. Semakin halus maka kerapatannya akan semakin meningkat. Makin
halus ukuran partikel, makin baik briket yang dihasilkan. Bahan baku untuk
membuat briket harus cukup halus untuk dapat membentuk briket yang baik. Ukuran
partikel yang terlalu besar akan sukar pada waktu melakukan perekatan sehingga
mengurangi keteguhan tekan dari briket yang dihasilkan.
Briket merupakan bahan bakar padat dengan dimensi tertentu yang
seragam, diperoleh dari hasil pengempaan bahan berbentuk curah, serbuk,
berukuran relatif kecil atau tidak beraturan sehingga sulit digunakan sebagai
bahan bakar dalam bentuk aslinya. Kelebihan penggunaan briket limbah biomasa
sebagai substitusi kerosene dan LPG antara lain yaitu biaya bahan bakar lebih
murah, lebih ramah lingkungan (green energy), merupakan sumber energi
terbarukan (renewable energy), membantu mengatasi masalah limbah dan menekan
biaya pengelolaan limbah (Purwita, 2012).
Karakteristik
Briket
Bahan
bakar padat memiliki spesifikasi dasar antara lain sebagai berikut :
1.
Nilai kalor (Heating
value/calorific value)
Nilai kalor bahan bakar adalah
jumlah panas yang dihasilkan atau ditimbulkan oleh suatu gram bahan bakar
tersebut dengan meningkatkan temperatur 1 gr air dari 3,5°C - 4,5°C, dengan
satuan kalori.
2.
Kadar air (Moisture)
Kandungan air dalam bahan bakar,
air yang terkandung dalam kayu atau produk kayu dinyatakan sebagai kadar air.
3.
Kadar Abu (Ash)
Abu atau disebut dengan bahan
mineral yang terkandung dalam bahan bakar padat yang merupakan bahan yang tidak
dapat terbakar setelah proses pembakaran. Abu adalah bahan yang tersisa apabila
bahan bakar padat (kayu) dipanaskan hingga berat konstan.
4.
Volatile matter (Zat-zat
yang mudah menguap)
Volatile matter (zat-zat
yang mudah menguap) merupakan salah satu karakteristik yang terkandung dari
suatu biobriket. Semakin banyak kandungan volatile matter pada biobriket
maka semakin mudah biobriket untuk terbakar dan menyala, sehingga laju
pembakaran semakin cepat.
5.
Fixed Carbon (FC)
Kandungan fixed carbon, yaitu
komponen yang bila terbakar tidak membentuk gas yaitu KT (karbon tetap) atau
disebut FC (fixed carbon), atau bisa juga disebut kandungan karbon tetap
yang terdapat pada bahan bakar padat yang berupa arang (char).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi karakteristik pembakaran briket, antara lain :
1.
Laju pembakaran
biobriket paling cepat adalah pada komposisi biomassa yang memiliki banyak
kandungan volatile matter (zat-zat yang mudah menguap). Semakin banyak
kandungan volatile matter suatu biobriket maka semakin mudah biobriket
tersebut terbakar, sehingga laju pembakaran semakin cepat.
2.
Kandungan nilai kalor
yang tinggi pada suatu biobriket saat terjadinya proses pembakaran biobriket
akan mempengaruhi pencapaian temperatur yang tinggi pula pada biobriket, namun
pencapaian suhu optimumnya cukup lama.
3.
Semakin besar berat
jenis (bulk density) bahan bakar maka laju pembakaran akan semakin lama.
Dengan demikian biobriket yang memiliki berat jenis yang besar memiliki laju
pembakaran yang lebih lama dan nilai kalor lebih tinggi dibandingkan dengan
biobriket yang memiliki berat jenis yang lebih rendah. Makin tinggi berat jenis
biobriket semakin tinggi pula nilai kalor yang diperolehnya (Widarti dkk,
2010).
Kualitas Arang Briket
Menurut (Departemen Kehutanan, 1994)
belum ada standar kualitas khusus untuk arang briket di Indonesia, namun
berbagai rujukan dapat digunakan sifat arang briket buatan Jepang, Inggris dan
USA sebagai berikut:
Tabel
Kualitas Mutu Briket Bioarang
Arang/briket
yang berkualitas harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Mempunyai kandungan arang (fix karbon) diatas 75%.
2. Cukup keras ditandai dengan tidak mudah patah dan hancur.
3. Kadar abunya tidak lebih dari 5%
4. Kadar zat menguapnya tidak lebih dari 8%
5. Kadar air tidak lebih dari 15%
6. Tidak tercemar oleh unsur-unsur yang membahayakan atau kotoran lainnya.
4. Perekat
Perekat diperlukan dalam pembuatan
briket bioarang. Hal ini karena sifat alami bubuk arang yang cenderung saling
memisah. Dengan bantuan bahan perekat atau lem, butir-butir arang dapat
disatukan dan dibentuk sesuai kebutuhan. Pemilihan jenis perekat sangat
berpengaruh terhadap kualitas bioarang. Hal ini disebabkan perekat akan
mempengaruhi kalor pada saat pembakaran (Muzi dan Mulasari, 2014).
Terdapat beberapa jenis bahan baku
yang umum dipakai sebagai pengikat untuk pembuatan briket, yaitu:
a.
Perekat anorganik
Pengikat
anorganik dapat menjaga ketahanan briket selama proses pembakaran sehingga
dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu. Contoh dari pengikat anorganik
antara lain semen, lempung, natrium.
b.
Perekat organik
Pengikat
organik menghasilkan abu yang relatif sedikit setelah pembakaran briket dan
umumnya merupakan bahan perekat yang efektif. Contoh dari pengikat organik di
antaranya kanji, tar, aspal, amilum, molase dan parafin (Sulistyanto, 2006).
METODE
PENELITIAN
1. Alat dan Bahan
Alat-alat
yang digunakan pada penelitian ini yaitu tong, ember, pengaduk kayu, lumpang
dari batu, alat pengepres, alat pencetak oven, neraca, pisau, panci dan kompor. Adapun bahan–bahan yang digunakan adalah cangkang karet, bonggol ubi
kayu, getah pinus, kanji, air dan akuades.
2. Prosedur Penelitian
Bahan baku cangkang karet dan bonggol ubi kayu pertama
sekali harus dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah
dibersihkan, bahan-bahan tersebut kemudian dikeringkan di terik matahari. Hal
ini bertujuan agar pembakaran dapat dilakukan dengan mudah. Bahan yang kering
akan lebih mudah untuk dibakar/dikarbonasi.
Bahan baku yang telah dikeringkan kemudian dibakar hingga
menghasilkan arang. Pembakaran ini kira-kira berlangsung selama kurang lebih 2-3 jam. Pada proses ini,
pembakaran cangkang karet dan bonggol ubi kayu dilakukan dalam dua buah tong
yang berbeda.
Arang hasil pembakaran dihaluskan menggunakan lumpang batu berukuran sedang. Material-material bahan yang telah dihaluskan kemudian dicampurkan
dengan campuran perekat yang sudah
dipanaskan dan kemudian diaduk dalam
ember. Pada proses ini akan divariasikan jumlah bahan baku
dan variasi perekat. Perbandingan antara cangkang karet dengan bonggol ubi kayu yang akan
divariasikan
yaitu 1:2, 1:1, dan 2:1 dan
variasi perbandingan antara tepung kanji dan getah pinus adalah 1:2 dan 1:1.
Bahan-bahan yang telah dicampurkan kemudian dimasukkan ke dalam alat pencetak dan kemudian dipres. Setelah itu dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven agar menghilangkan
sisa-sisa air setelah pengepresan sehingga diperoleh hasil briket yang keras.
DAFTAR
PUSTAKA
Antari,
R., dan Umiyasih, U., (2009), Pemanfaatan Tanaman
Ubi Kayu dan
Limbahnya secara Optimal sebagai
Pakan Ternak Ruminansia,
WARTAZOA, 19(4),
191-200.
Departemen
Pertanian, (2009), Basis Data Pertanian,
http://database.deptan.go.id/ bdsp/hasil_kom_asp.
Mariyono,
Y.N., Anggraeny, dan Kiaega, L., (2008), Teknologi alternatif pemberian pakan sapi
potong untuk wilayah industri bagian Timur, Pros. Seminar Nasional Sapi
Potong, Palu, 24 November 2008, BPTP Sulawesi Tengah, hlm:151 – 159.
Muzi, I., dan S.
A. Mulasari., (2014), Perbedaan Konsentrasi
Perekat antara Briket Bioarang Tandan Kosong Sawit dengan Briket Bioarang
Temperatur Kelapa terhadap Waktu Didih Air, 8(2).
Sulistyanto, A.,
(2006), Karakteristik
Pembakaran Biobriket Campuran Batubara dan Sabut Kelapa, 7:79.
Vinsiah, R., (2013), Pembuatan Karbon Aktif
dari Cangkang Kulit Buah
Karet (Hevea brasilliensis), 189-199.
Widarti,
E.S., (2010), Studi Eksperimental
Karakteristik Briket Organik
dengan Bahan Baku dari PPLH Seloliman,
1-10.
Wijaya, P., (2012), Analisis Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong sebagai Bahan Bakar Alternatif Biobriket, SKRIPSI,
IPB, Bogor.
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
1. Dilarang Spam
2. Dilarang menggunakan kata-kata kasar/tidak sopan
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda