Intoleransi Laktosa
Mual, Muntah, dan Sakit Perut ketika Mengkonsumsi
Susu? Ternyata Inilah Penyebabnya
Gula Susu (Laktosa)
Susu merupakan
sumber nutrisi yang penting untuk pertumbuhan manusia karena mengandung
karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Namun, pada kali ini hanya
akan dibahas mengenai kandungan karbohidratnya saja. Karbohidrat yang
terkandung dalam susu adalah “laktosa”. Laktosa merupakan karbohidrat atau gula
yang terdapat dalam susu, karena itu gula ini lebih dikenal dengan gula susu.
Salah satu sifat khas dari laktosa adalah dapat diuraikan menjadi D-galaktosa dan D-glukosa. Selain itu, sifat-sifat laktosa secara kimia dapat diketahui lebih spesifik lagi, seperti sifat mereduksinya. Sebagai reduktor, laktosa dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Sifat mereduksi ini disebabkan oleh adanya gugus aldehida dan keton bebas dalam molekul laktosa.
Laktosa dalam
susu terdapat dalam fase larutan, dengan demikian laktosa tersebut mudah
dicerna sebagai bahan makanan dengan proses hidrolisis menjadi glukosa dan
galaktosa oleh enzim laktase (β-galaktosidase) di dalam usus. Kadar laktosa
susu berbagai spesies mamalia adalah sebagai berikut:
Ø Sapi :
4,8 %
Ø Kambing : 4,2
%
Ø Domba :
4,17 %
Ø Manusia :
6,98 %
Laktosa
merupakan sumber karbohidrat yang terutama pada bayi, dicerna menjadi glukosa
dan galaktosa. Selanjutnya galaktosa yang terbentuk dikonversi oleh hati dan
beberapa jaringan lainnya menjadi glukosa.
Intoleransi Laktosa
Pada keadaan
normal, tubuh manusia dapat menghidrolisis laktosa menjadi gula sederhana
dengan bantuan enzim laktase. Berbeda dengan sebagian besar mamalia yang tidak
lagi memproduksi laktase sejak masa penyapihan, pada manusia laktase terus
diproduksi sepanjang hidupnya. Tanpa laktase yang cukup, manusia tidak mampu
mencerna laktosa sehingga akan mengalami gangguan pencernaan seperti sakit
perut dan diare yang dikenal sebagai intoleransi
laktosa atau defisiensi laktase.
Hasil penelitian
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak kelompok tertentu yang telah dewasa
tidak toleran terhadap laktosa. Hal ini disebabkan oleh karena minimnya laktase
dalam mukosa usus orang tersebut.pemberian susu yang kaya akan laktosa bagi
orang seperti ini, dapat mengakibatkan gangguan-gangguan pada perut atau diare.
Hampir 70% orang dewasa di Afrika, Asia, dan Indian Amerika menunjukan adanya
gejala kekurangan enzim laktase, sehingga mereka tidak tahan terhadap laktosa.
Pada janin
manusia, aktivitas laktase sudah nampak pada usia kehamilan 3 bulan dan
aktifitasnya akan menngkat pada minggu ke 35-38 hingga 70% dari bayi lahir
aterm. Karena itu, defisiensi laktase primer yang dijumpai pada bayi prematur
dihubungkan dengan perkembangan usus immatur (developmental lactase
deficiency). Defisiensi laktase kongenital pada bayi baru lahir merupakan keadaan yang jarang dijumpai dan
merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif.
Aktivitas
laktase akan mengalami penurunan secara nyata pada usia 2 sampai 5 tahun (late
onset lactase deficiency) walau laktosa terus diberikan. Ini menandakan bahwa
laktase bukan merupakan enzim adaptif. Pada beberapa ras, terutama orang kulit
putih di bagian Eropa Utara dan beberapa suku nomaden di Afrika, aktivitas
laktase pada manusia dewasa tetap tinggi (persistence of lactase activity).
Apabila terjadi
defisiensi laktase baik primer maupun sekunder, laktosa tidak bisa dipecah
menjadi bentuk yang bisa diserap, sehingga laktosa akan menumpuk. Di kolon,
laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon dan menghasilkan asam laktat dan
asam lemak rantai pendek lainnya seperti asam asetat, asam butirat dan asam
propionat. Asam laktat yang diproduksi oleh mikroorganisme tersebut aktif
secara osmotik dan menarik air ke lumen usus, demikian juga laktosa yang tidak
tercerna juga menarik air sehingga menyebabkan diare. Fenomena ini menerangkan
feses yang cair, asam, berbusa dan kemerahan pada kulit di sekitar dubur
(eritema natum).
Fermentasi
laktosa oleh bakteri di kolon juga menghasilkan beberapa gas seperti hidrogen,
metan dan karbondioksida yang akan mengakibatkan distensi abdomen, nyeri perut,
dan flatus. Bila cukup berat, produksi gas dan adanya diare tadi
akan menghambat penyerapan nutrisi lainnya seperti protein dan lemak. Kandungan
gas yang tinggi juga mengakibatkan feses yang dihasilkan sering mengapung dan
juga berbau busuk. Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui
rektum dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistim portal dan dikeluarkan
melalui sistem pernapasan.
Intoleransi
laktosa dapat bersifat asimtomatis atau memperlihatkan berbagai gejala klinis.
Berat atau ringan gejala klinis yang diperlihatkan tergantung dari aktivitas
laktase di dalam usus halus, jumlah laktosa, cara mengkonsumsi laktosa, waktu
pengosongan lambung, waktu singgah usus, flora kolon, dan sensitifitas kolon
terhadap asidifikasi.
Gejala klinis
yang diperlihatkan dapat berupa rasa mual, muntah, sakit perut, kembung dan
sering flatus. Rasa mual dan muntah merupakan salah satu gejala yang paling
sering ditemukan pada anak. Pada uji toleransi laktosa rasa penuh di perut dan
mual timbul dalam waktu 30 menit, sedangkan nyeri perut, flatus dan diare
timbul dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsi larutan laktosa.
Oleh sebab itu,
untuk memenuhi kebutuhan akan susu pada orang yang intoleran terhadap laktosa,
masa beberapa tahun terakhir telah diproduksi susu formula kedelai sebagai salah
satu alternatif nutrisi bebas laktosa. Susu yang bebas laktosa tersebut telah
berkembang dengan baik, karena susu tersebut kaya akan protein, kalsium, dan
energi, tetapi sedikit atau tidak mengandung laktosa sama sekali. Susu formula
ini dapat dikonsumsi bayi dengan baik karena rasanya sama seperti susu formula
standar lainnya. Selain itu, susu formula tersebut mengandung protein yang
setara dengan ASI (60% lactalbumin), diperkaya dengan nukleotida untuk mencegah
terjadinya diare serta mengandung nutrisi yang lengkap dan seimbang, termasuk karoten.
Referensi :
Boediarso, A., (1993), Perkembangan laktase dan
hubungannya dengan makanan bayi. Sari
Pediatri. 1(1).
Buller, H,A., (1990), Lactase phlorizin hydrolase: A
review of the literature. Disertasi,
University of Amsterdams.
Gracey, M. dan Anderson C.M., (1993), Disorders of
carbohydrate digestion and absorption. Blackwell
Scientific Publication, 1(1).
Heyman, M.B., (2006), Lactose ntolerance in infants,
children, and adolescent. Ped. J. 118(3).
Hegar, B., Firmansyah, A., Boediarso, A., dan
Sunoto., (1997), Aktivitas enzim laktase pada murid taman kanak-kanak. MKI, 2(1).
Lebenthal, E., Kretchmer N., dan Alliet P., (1989),
Lactase deficiency, lactose malabsorption, and lactose intolerance. Texbook of gastroenterology and nutrition in
infancy. Edisi ke-2, Raven Press, New York.
Montes R.G. dan Perman J.A., (1991) Lactose
intolerance. Postgrad Med, 89(1).
Silitonga, P.M., (2013), Biokimia Nutrisi, FMIPA Universitas Negeri Medan, Medan.
Sinuhaji, A.B., (2006), Intoleransi laktosa. Majalah kedokteran nusantara, 39(4).
Swallow, D.M., (2003), Genetics of lactase
persistence and lactose intolerance. Ann. Rev. Genet. 37(1).
Label: Artikel
0 Komentar:
Posting Komentar
1. Dilarang Spam
2. Dilarang menggunakan kata-kata kasar/tidak sopan
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda